Sabtu, 21 Maret 2009

Menyerahkan Diri dan Harta

Diri dan harta adalah dua konsep yang dianggap sangat penting oleh masyarakat jahiliah. Faktanya, bagi banyak orang diri dan harta merupakan satu-satunya tujuan kehi¬dup¬an. Sepanjang hidup mereka, orang ber¬usaha untuk memperoleh status yang dengan¬nya mereka dapat dihormati dan bisa unggul. Dalam al-Qur’an, Allah menyuruh manusia untuk memperhatikan fakta bahwa memiliki harta dan dihormati di masyarakat adalah nafsu banyak orang-orang bodoh:

“Dijadikan indah pada pandangan manu¬sia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.s. Ali Imran: 14).

Dalam ayat lain Allah menyatakan bahwa harta dan status tidak lain adalah ujian:

“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap diri dan hartamu.” (Q.s. 187).

Dengan nafsu yang menyala di hati, orang-orang dalam masyarakat jahiliah bercita-cita untuk memiliki harta yang banyak. Ketakut¬an terbesar mereka ialah kerusakan terhadap harta mereka atau sesuatu yang mereka bang¬gakan, karena kerusakan itu akan mempe¬nga¬ruhi tujuan utama mereka dalam kehidupan. Karena alasan ini mereka mengorbankan segala sesuatu demi melin¬dungi kekayaan, diri, dan kemajuan kepentingan duniawi mereka. Pandangan mereka bahwa kehidupan dunia ini, apa-apa yang ada di dalamnya dan kese¬nangan-kesenangannya yang menggoda, adalah lebih bernilai daripada ridha Allah, menjadi sumber sikap seperti itu.
Sebaliknya, orang-orang beriman segera mengesampingkan keuntungan material (yang diburu oleh orang-orang jahiliah) demi memperoleh ridha Allah dan surga. Mereka sadar bahwa mereka sedang diuji melalui harta dan diri mereka, dan bahwa Allah ada¬lah pemilik sesungguhnya atas apa-apa yang diberikan di dunia ini. Akibatnya, Allah mung¬¬kin mengambil kembali apa yang telah Dia amanatkan kapan pun Dia menghendaki, karena Allah memegang kekuasaan mutlak atas segala sesuatu di alam semesta ini.
“Diri” seseorang, yang adalah tubuhnya, akhirnya akan mengalami proses kemun¬duran yang cepat setelah usia enam puluh atau tujuh puluh tahun, dan hartanya tidak akan memberi manfaat baginya di akhirat. Tetapi ketika seseorang menggunakan hartanya di jalan Allah, dia akan menuai kepuasan baik di dunia ini maupun di akhirat. Orang-orang beriman menyerahkan diri mere¬ka kepada Allah, dan gairah dalam hati merekalah yang menyebabkan mereka ber¬serah diri kepada-Nya. Dalam al-Qur’an dinyatakan sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta orang mukmin dengan surga.” (Q.s. at-Taubah: 111).


Ayat di atas ditutup dengan:

“Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan ini, dan itulah ke¬menangan yang besar.” (Q.s. at-Taubah: 111).

Ayat ini memungkinkan orang-orang beriman untuk senantiasa mengalami kebaha¬giaan dan gairah di hati mereka. Ketika diper¬lukan, mereka dengan bersemangat meng¬gunakan hartanya untuk tujuan yang baik guna mendapatkan ridha Allah. Mereka meng¬gunakan diri mereka untuk berbakti kepada agama dan berbuat amal baik untuk mendapatkan ridha Allah. Tak diragukan lagi, mereka sadar bahwa kadang-kadang harta dan hidup mereka mungkin dalam bahaya, tetapi mereka menerima itu dengan senang hati karena mereka menganggap itu sebagai ke¬un¬tungan dan bukan kerugian. Dalam al-Qur’an, Allah memerintahkan orang-orang ber¬iman untuk menghadapi kesulitan dengan tawakal:

“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus ber¬ta¬wakal’.” (Q.s. at-Taubah: 51).

Al-Qur’an juga menceritakan suatu keja¬dian yang memperlihatkan betapa bergai¬rahnya orang beriman menyerahkan harta dan diri mereka untuk Allah. Sekelompok orang beriman di zaman Nabi Muhammad saw. dengan ikhlas berkeinginan untuk ber¬juang di jalan Allah, tetapi keadaan tidak memungkinkan mereka. Allah menghargai niat tulus mereka dan memaafkan mereka:

“Dan tiada dosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu’, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak mem¬peroleh apa yang akan mereka nafkah¬kan.” (Q.s. at-Taubah: 92).


Ini merupakan isyarat yang jelas tentang betapa tulusnya orang-orang beriman berke¬inginan untuk menggunakan harta dan diri mereka di jalan Allah dan gairah yang dia rasa¬kan untuk tujuan ini. Tak diragukan lagi, jenis pengabdian yang diberikan seorang yang beriman akan berubah sesuai dengan waktu dan situasi. Di zaman Nabi Muhammad saw. perang harus dilancarkan untuk melindungi hak-hak orang beriman. Di zaman kita seka¬rang ini umat Islam perlu berjuang dalam bidang intelektual, dan mengabdi dalam bi¬dang keilmuan.
Setiap orang yang melakukan pengorbanan tulus untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an dan menyampaikan keindahan hidup seperti itu kepada orang lain, semata meng¬¬harapkan balasan dari Tuhannya. Balas¬an bagi mereka yang menggunakan waktu dan harta di dunia ini di jalan Allah ditegaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut:

“Siapakah yang mau meminjamkan ke¬pada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (Q.s. al-Hadid: 11).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar